RSS

Category Archives: cerpen

AKU TOLAK LAMARANMU

AKU TOLAK LAMARANMU

Mereka, lelaki & perempuan, yang begitu berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta’aruf yang singkat mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah. Sang lelaki sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan. Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Read the rest of this entry »

 
Leave a comment

Posted by on November 1, 2011 in cerpen

 

Tags: , ,

Dengan Melepasmu, Aku menang

“Oke, kalau memang itu yang kamu mau, maka aku akan mengabulkan permintaanmu untuk yang ketiga kalinya. Maka dengan ini, aku menceraikanmu!!!!!!!”

Darrr!!! Darrr!!!

Kata-kata itu masih saja terngiang dalam benak Atikah. Siang malam dia tak mampu melupakan kata-kata talak itu. Tidak main-main. Ini adalah talak tiga yang telah dengan sadar dilontarkan oleh suaminya, Radit. Talak dimana seorang suami sudah tidak bisa rujuk atau menikahi istrinya lagi. Talak yang tidak mungkin bagi Radit untuk bisa menikahi Atikah lagi sebelum Atikah menikah lagi dengan orang lain. Dan pernikahan kedua itu sendiri juga bukanlah pernikahan main-main. Mereka juga harus bercampur terlebih dulu. Read the rest of this entry »

 
Leave a comment

Posted by on November 1, 2011 in cerpen

 

Tags: , ,

Aku Lesbi ??!

Huh…gimana sih?! Masa’ MP5 baru beli kemarin udah rusak kaya’ gini. Payah!” gumam Vivie.

Pa… papa… MP5 60 giga-ku udah rusak! Bisa nggak papa belikan Vivie MP4 yang baru??” tanya Vivie pada papanya, Pak Burhan, yang sedang asyik baca the newest news, hobinya tiap sore, di ruang tamu. Read the rest of this entry »

 
2 Comments

Posted by on October 24, 2011 in cerpen

 

Tags: , ,

Mengais Cinta di Negeri Sakura

 

— April 2010 —-

Suhu udara berangsur menghangat. Nyaman. Nyaman sekali. Bunga sakura bermekaran dengan sangat cantiknya. Indah!

Musim semi telah datang!

Tradisinya disini, masyarakat Jepang berbondong-bondong ber- hanami (hana=bunga, mi=melihat) untuk melihat bunga sakura di musim semi. Adalah Tokugawa Yoshimune, tokoh yang telah menanam banyak pohon sakura kala itu. Biasanya masyarakat Jepang pergi ke taman kota, berkumpul bersama sambil makan-minum, bercengkerama dan masih banyak lagi yang dilakukan. Ada banyak makanan seperti yakitori, yakisoba, tokoyaki, ayam goreng, dan yang paling membuatku kangen Indonesia adalah onigiri! Yups! Onigiri adalah salah satu makanan praktis khas Jepang, dibuat dari nasi yang dikepal-kepal dan dibalut nori (rumput laut kering yang dibuat lembaran). Terkadang, didalam onigiri juga bisa diisi dengan berbagai jenis lauk seperti ikan atau lainnya.

Sangat ramai di taman kota ini. Tepatnya di Mariyuama Park. Aku ikut berhanami disini, sebagai member Persatuan Pelajar Indonesia di Kyoto (PPI Kyoto). Ya, namaku Farhan, aku termasuk orang yang sangat beruntung karena mendapatkan beasiswa riset. Aku bisa dikatakan sebagai kokuhi ryuugakusei (mahasiswa atas biaya negara). Ramai sekali di taman ini. Aku juga bertemu para pengurus Perhimpunan Persahabatan Jepang-Indonesia. Namun, aku merasakan sepi, tak tahu kenapa. Sepi, meskipun disini banyak sekali orang berlalu lalang, bergembira, berkumpul. Namun, aku merasakan ada yang kosong di dalam relung hatiku. Aku tak tahu apa yang aku rasakan ini. Hampa! Apakah orang-orang disini juga merasakan kehampaan yang sama sepertiku? Ataukah mereka sebenarnya merasakan kehampaan, namun tak menghiraukannya? Disini, ada sebuah sistem hidup yang kadang aku menganggapnya sebagai sistem Tak Ber-Tuhan! Sistem yang menghendakiku  untuk study, study, study! Bekerja, bekerja, bekerja! Sebuah rutinitas yang selalu saja dilakukan hampir semua orang ini, sampai tak mengenal waktu! Workaholic!

Kenapa denganku? Hampa! Kosong!

Namun aku memang beruntung! Sekali lagi aku katakan demikian, dibandingkan temanku yang bernama Edwin yang sama-sama dari Indonesia. Dia adalah shihi ryuugakusei (privately – financed student) alias mahasiswa atas biaya sendiri. Yang aku tahu, dia hanya menerima beasiswa 50 ribu yen per bulan. Padahal, dia harus membayar SPP per semester yang kalau bayar full sekitar 270 ribu yen/semester, terkadang bisa dapat keringanan setengahnya. Belum lagi sewa kamar, makan, telepon, transportasi, dan lain-lain. Nah lho! Tapi aku melihat, dia adalah mahasiswa super keren! He has been survived on his own feet! Sampai-sampai untuk makan, dia rajin makan onigiri tanpa isi. Jadi hanya nasi putih yang dikepal-kepal dan dibalut nori! Super-keren! Aku melihat cahaya perjuangan yang berbinar-binar di matanya!

Nevertheless, Edwin jauh lebih beruntung seribu kali dibanding ratusan bahkan ribuan pelajar Indonesia yang untuk sekolah dasar saja sulit, apalagi melanjutkan kuliah. Negeriku tercinta, Indonesia. Indonesia yang kaya raya, yang seharusnya bisa-lah untuk meng-kuliah-kan para pemuda generasi penerus bangsanya. Hmm..aku tak tahu lagi. Yang jelas, biaya pendidikan di Indonesia semakin lama semakin meningkat tajam dengan sistem kapitalistiknya. ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH!

Disini, di negeri Sakura ini, pendidikan sangat diperhatikan. Budaya disiplin tetap dijaga. Seakan tak ada waktu yang terbuang bagi orang Jepang. Time is money – lah. Namun ya itu, bagiku, tetap saja aku menganggap sistem disini sebagai sistem yang Tak Ber-Tuhan!

Bagiku, mendapatkan beasiswa ini adalah anugerah sekaligus tantangan. Sebuah anugerah, karena memang tidak semua orang yang apply beasiswa ini dapat di-lulus-kan. Di sisi lain, ini adalah sebuah tantangan, karena di negeri asing ini aku harus bisa survive dan aku berkomiten untuk mampu berkontribusi bagi orang-orang di sekitar serta lingkunganku yang baru ini.

Mayoritas penduduk Jepang disini menganut agama Budha/Shinto, yaitu sekitar 80%. Sedangkan untuk komunitas muslim, aku melihat memang orang muslim di sini minoritas. Bila diprosentase, komunitas muslim disini hanya sekitar 0,095% atau hanya 121.062 orang. Yang ngeh dengan Islam juga amat kecil. How poor we (moslems) are!! [kasihan banget ya kita sebagai kaum muslim, padahal kaum muslim adalah komunitas terbesar di dunia, sekaligus terhebat! Tapi lagi-lagi, kita kalah!]

Aku salut dengan orang-orang Muslim yang telah bermukim lama disini. Mereka pada dasarnya adalah orang asli Turki, Arab, Melayu dan Indonesia yang menempuh pendidikan/bekerja di Jepang. Of course, muslim di Jepang harus bisa struggle. Mereka masih susah terhadap pendidikan anak, makanan halal serta kesusastraan Islam. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jepang juga tidak mudah didapati. Tidak ada kesusasatraan Islam di toko-toko atau perpustakaan umum, kecuali beberapa essay dan buku dalam bahasa Inggris yang dijual dengan harga yang agak mahal.

….

Aku masih sangat ingat dulu ketika adik bungsuku, Lia, yang masih berusia 6 tahun melepas keberangkatanku ke Jepang ini. Sangat lucu dan menggemaskan. Dengan kata yang masih terbata-bata dalam berbahasa Jepang dia tersenyum simpul.

“Ganbatte, one-san!” [Selamat berjuang, kak!]

“Hai, Ganbarimasu!” [Baik. Aku akan berusaha!]

“Ja, mata!” [Sampai ketemu]

“Hai!” [Baik]

Lalu kupeluk erat dia. Sangat erat.

“Semoga kita bisa segera ketemu ya, gadis kecilku.”

….

Aku sangat rindu gadis kecilku!

 

…….

Golden Week!!

Yups.. inilah minggu yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang yang tinggal di Jepang, termasuk aku Minggu-minggu yang banyak liburnya! he..he..he… (dasar orang Indo!). Ya, dalam satu minggu ada total 4 hari libur yang hampir berurutan, yaitu tanggal 29 April (Showa day, hari kelahiran Kaisar), 3 Mei (Constitution Memorial Day), 4 Mei (Greenery Day) dan 5 Mei (Children’s Day). Seru!!! Bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan atau mengunjungi teman-teman dari Indonesia di sini!

Golden Week kali ini ada beberapa ustadz dari Indonesia yang mengisi pengajian. Salah satunya Ustadz Yusuf Mansyur di Rokujizo. Perjuangan Ustadz Yusuf Mansyur sangat layak untuk dicontoh. Di tengah hingar-bingar kehidupan dunia yang semakin menggilas ini, beliau masih saja meluangkan waktu untuk berdakwah. Menyampaikan yang haq [benar, red]. Dari beliau jugalah aku bisa menemukan secercah cahaya iman! Alhamdulillah! Aku semakin merasakan rindu yang sangat dengan keluargaku di Indonesia.

 

 

— Oktober 2010 —

Saat ini musim gugur di Jepang. Dedaunan berubah warna menjadi kuning keemasan, ada juga yang menjadi merah marun. Memancarkan aura keindahan tersendiri. Angin menyapa pepohonan yang perlahan melepas daun-daun. Di Tokyo ini, perubahan warna serta gugurnya daun-daun belum tampak sempurna. Aku pergi ke sebuah taman yang penuh dengan guguran daun bintang. Daun bintang yang berwarna merah marun, keemasan. Berserakan dibawah sederetan bangku kayu tua yang panjang berwarna hitam. Entah kenapa, ketika melihat yang namanya daun bintang, aku selalu terpesona. Serasa ada suatu feel tersendiri dalam alam bawah sadarku ketika membayangkan atau melihat langsung daun bintang. I don’t know what it is. Sungguh indah! Oktober akhir tahun ini betul-betul menjadi musim gugur yang indah bagiku.

Aku terduduk di bangku tua. Kosong. Sengaja aku mencari tempat yang jauh dari keramaian orang. No body else. Sendiri. Melihat keindahan panorama di depanku yang kulihat begitu apik. Guguran daun bintang di sekitarku membuat aku sangat nyaman disini. Seakan tak mau beranjak dari tempat dudukku. Di depanku ada sebuah danau kecil. Kulihat muara-muaranya mulai beriak. Riaknya kecil, namun semakin besar dan semakin besar. Begitu sempurnanya Tuhan menciptakan semua ini dan mengizinkanku menikmatinya secara gratis. Tuhan sangat murah hati!

Aku teringat keluargaku di Indonesia. Teringat abah, ummi, si mungil Lia serta keluarga besarku. Huff.. roda kehidupanku sepertinya memang tak pernah berhenti dan terus berputar. Aku merasakan skenario Alloh Subhanahu wata’ala akan hidupku. The show must go on! Hingga detik ini. Aku berfikir tentang capaian-capaian yang selama ini kuperjuangkan dan mati-matian kuwujudkan sampai semuanya benar-benar nampak riil dalam hidupku. Mimpi-mimpiku!!!!! Hingga akhirnya aku sampai ke negeri Sakura ini. Demi sebuah ilmu Alloh Subhanahu wata’ala yang aku rasakan semakin hari semakin menyadarkanku: betapa kecilnya aku di dunia ini! Betapa bodohnya aku ini dibandingkan dengan ilmu Tuhan yang Maha Luas ini. Sampai di sinikah capaian-capaian hidupku bermuara? Sampai di sinikah babak kehidupanku akan berakhir?! So what next? Aku mengerahkan segala daya untuk menemukan jawabku sendiri. Lelah.

Angin berhembus menerbangkan daun-daun bintang yang berserakan di sekelilingku. Berhambur ke segala arah. Namun aku masih dengan sebuah pertanyaan besar bergelayut dalam benakku. Untuk apa hidupku? Mau apa aku setelah ini? Mau kemana setelah semua kesuksesan duniaku suatu saat nanti!!

Tiba-tiba saja, ku dengar sayup-sayup suara dari handphone-ku. Aku segera meraih handphone dari dalam saku celanaku.

“……Hayya alal falah…Hayya alal falah…” [mari kita menuju kemenangan]

Suara timer adzan dari handphone-ku sontak menyadarkanku dari lamunan. Waktu menunjukkan saat sholat ashar. Allohu Akbar!

Kampeki-desu” [sempurna].

Timing yang sangat tepat dengan pertanyaan-pertanyaan dalam otakku. Luar biasa!

“……Hayya alal falah…” [mari kita menuju kemenangan]. Kemenangan? Kemenangan apa? Kemenangan bagi siapa?

Aku pun terus berjalan meninggalkan danau itu. Berjalan, dan terus berjalan! Hingga sampailah aku di sebuah masjid di kota Tokyo.  Tokyo Camii , sebuah masjid besar di Tokyo.

Aku tenggelam dalam sujud panjangku.

Seusai sholat ashar berjamaah, seperti biasanya, ada jeda waktu sampai sholat maghrib yang dimanfaatkan oleh ta’mir masjid dengan sebuah pengajian. Kuikuti dengan khusyuk materi khutbah dari Ustadz. Nama ustadz tersebut Nakata. Seorang Profesor. Yang aku tahu, beliau seorang muallaf. Meskipun seorang muallaf, pengetahuan agamanya jauh lebih tinggi dibandingkan aku. Gelar Ph.D-nya beliau dapatkan dari Cairo University dalam bidang pemikiran politik Islam tahun 1992. Sekarang beliau menjabat sebagai ketua Dewan Direktur Asosiasi Muslim Jepang. Bagiku, beliau sungguh seorang pejuang Islam yang tangguh. Karena, di tengah kesibukannya sebagai profesor di Doshisha University, beliau juga aktif berdakwah. Sangat patut kujadikan panutan!

Dalam khutbahnya, beliau membacakan arti Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 1 sampai dengan 5.

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka.  Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.”

Kemudian beliau juga menjelaskan tentang tafsir ayat-ayat tersebut dengan sangat gamblang. Subhanalloh! Dan dengan bijaknya Prof. Nakata menutup khutbah beliau tersebut dengan membacakan arti surat Al-Fath ayat 10: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Penjelasan Prof. Nakata betul-betul menjawab dengan tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini belum kutemukan jawabnya.

Ya Alloh Rabbul Izzati, demi-Mu, akan aku kais ilmu-Mu sedapat aku bisa mengaisnya. I’ll keep moving forward!!!! Kini aku sadar bahwa dunia seisinya is nothing!! Bukan gelar yang aku cari, bukan jabatan, bukan sekedar kekayaan, pangkat atau embel-embel lainnya. Namun Wahai Rabbku, semua aku lakukan demi agama-Mu ya Alloh!!! Demi cinta-Mu, di negeri Sakura ini! Demi izzah kaum muslimin suatu saat nanti!! I’l do it as can as possible!!

Pertanyaanku terjawab sudah. Terima kasih Prof. Nakata! Arigato!

 

(yiruma kaze, sebuah monolog, Desember 2010)

 
Leave a comment

Posted by on October 20, 2011 in cerpen

 

a Promise

 

—Akhir Tahun 1998—

 

Rahmat menggali, dan terus menggali. Bak seekor anjing yang mengorek-ngorek tanah untuk menemukan kembali harta karun berupa tulang putih yang telah lama disimpan di dalam tanah. Tapi maaf, Rahmat manusia, bukan anjing. Sekali lagi, Rahmat bukan binatang. Rahmat menggali dan terus menggali.

Bersamaku, Rahmat menyambung hidup dengan menggali pasir dan batu di sungai Cimanuk – Garut. Meskipun airnya sangat keruh dan suka meluap, kami tak peduli. Asalkan dapat pasir, asalkan dapat membeli beras. Ya, kami berangkat menambang di tengah malam dan pulang dini hari hanya demi sesuap nasi.

Tapi malam itu, muka Rahmat membiru. Nafasnya tersengal-sengal. Batuknya tak henti-henti.

Sudahlah Rahmat, sebaiknya kamu balik saja ke gubuk kita. Istirahat dulu. Lihatlah, mukamu pucat,” bujukku. Lokasi penambangan pasir kebetulan memang dekat dengan gubuk kami.

Aku tak apa-apa, Bayu. Aku baik-baik saja, kok,” sahut Rahmat dengan tubuh lunglai. Darah segar muncrat dari mulut Rahmat.

BREKKKK

Tubuh Rahmat terkapar di samping sekop yang digunakannya menggali pasir sungai. Aku dan beberapa kawan yang lain membopong tubuh Rahmat yang penuh dengan darah dan pasir itu ke gubuk. Ya, gubuk. Tempat yang aku dan Rahmat tinggali saat ini memang pantas dikatakan sebuah gubuk. Karena terbuat dari papan kayu dan kardus. Sekali masuk ruangan, ya itulah kamar, sekaligus ruang tamu, dapur dan maaf, tempat buang air di pojokan. Memang di tempat seperti itulah aku dan Rahmat tinggal hampir selama 12 tahun ini.

Kami terjepit.

Besok paginya, sehabis menambang, aku mengantar Rahmat ke puskesmas terdekat. Karena hanya puskesmas yang bisa dijangkau oleh isi kantong kami berdua. Celengan [tabungan, red] ku sengaja kusimpan untuk modal kawin. Kalau celengan Rahmat katanya akan digunakannya untuk naik haji. Celengan kami yang setiap harinya kami elus-elus. Celengan dari bahan tembikar berbentuk ayam jago yang sudah tak bewarna.

Rahmat absen dari menambang pasir selama beberapa hari. Kulihat malam keempat dia baru bisa tidur agak pulas. Dengan foto gambar Ka’bah, yang pernah diberikan oleh Pak Kepala Desa yang baru saja pulang dari ibadah haji, di dekapannya. Dipeluknya erat foto itu di dadanya.

Bayu, suatu saat nanti aku akan ke Mekah! Suatu saat aku akan melihat Ka’bah!” Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Rahmat barusan.

Rahmat memang orang baik. Dialah yang menawariku tinggal di gubuknya, ketika dulu kami bertemu di perempatan jalan ketika aku ngamen.

Dulu, sebenarnya aku anak orang kaya. Kata tetanggaku dulu, ayahku meninggal ketika aku bayi. Dan ibuku, terakhir kali aku bersama ibuku adalah ketika aku berusia 6 tahun. Waktu itu diajak ibuku pergi ke Garut, katanya ke rumah nenek, berangkat dari Jakarta. Namun, ketika sudah duduk manis di dalam bus dan beberapa detik sebelum bus berangkat, tiba-tiba ibu meninggalkanku begitu saja.

Ibu!!!!

Beliau pergi sambil menangis. Kulihat beliau menangis. Aku menatapnya dari dalam bus tanpa daya. Entah kemana ibuku pergi. Beliau tak pernah kembali, hingga usiaku kini 18 tahun.

Ibu!!!!

Rahmat anak tunggal. Kedua orang tua Rahmat memang sudah lama meninggal dalam kebakaran hebat rumahnya. Menurut cerita yang kudengar dari orang lain, pada saat kebakaran itu hanya Rahmat yang berhasil diselamatkan. Umi dan abinya, panggilan kepada ibu-bapaknya yang selama ini kudengar dari mulutnya, meninggal dalam kobaran api. Makanya, dia sampai sekarang sangat takut dengan api. Rahmat berhasil dikeluarkan dan diselamatkan dari kepulan asap yang melingkupinya dan memenuhi paru-parunya. Akibatnya, dia menderita sakit paru-paru sampai saat ini.

Nasib kami berdua bisa dikatakan serupa, tapi tak sama. Sama-sama sebatang kara, dengan alur cerita hidup yang berbeda. Sebuah desain hidup yang unik dari Tuhan.

Namun yang sedikit membanggakan, Rahmat sudah lulus Sekolah Dasar.

 

Rahmat masih tertidur pulas, dengan foto Ka’bah itu lagi di dadanya.

 

—Tahun 2004—

Nasib kami belum berubah. Tetap tinggal di gubuk di bantaran sungai. Tetap menambang pasir dan Rahmat pun tetap bertahan dengan sakit paru-parunya itu. Dan akibat krisis ekonomi masih saja terasa. Ya, untuk masalah ini, aku tidak begitu bodoh untuk sekedar mengikuti berita. Sedikit banyak, aku mengerti maksud pemberitaan di TV, lebih tepatnya aku berusaha keras untuk bisa mengerti. Dari suara TV yang setiap hari kudengar dari tetangga, krisis ekonomi terus-menerus diberitakan. Apa itu GDP, kebijakan moneter, inflasi, kebijakan tarif? Achhhh!!!! Apa itu makro ekonomi, resiko politik, ruang fiskal, aku semakin tidak mengerti. Gak mudeng! [tidak paham, red]. Semakin membuat otakku pecah saja!!

Bagi orang kecil seperti kami, yang kami mengerti hanya harga beras yang naik terus dari hari ke hari. Beras semakin dicari! Beras semakin dipuja bak raja! Tanpa beras, seakan mati. Tak makan. Padahal, kami harus melanjutkan hidup. Dan harus hidup.

 

***

 

Suatu siang yang sangat terik, kulihat segerombolan anak muda berseragam berteriak-teriak dengan teratur melewati jembatan sungai Cimanuk, tepat diatas tempat aku biasanya menggali pasir. Kadang mereka juga bernyanyi. Mereka berteriak ‘Tolak Kenaikan BBM! Tolak Kenaikan Harga Sembako!’

Yak!!! Aku dukung teriakan kalian dari bawah jembatan ini, meski banyak orang yang berlalu lalang tidak menggubris kalian. Aku dukung kalian! Meski orang-orang itu menganggap kalian sinting dan hanya membuang-buang tenaga dan waktu. Aku dukung kalian! Meski banyak orang mengganggap kalian cuma pura-pura membantu nasib orang kecil seperti kami dan dibayar oleh ‘utusan khusus’ partai politik. Aku dukung kalian! Meski orang-orang itu menganggap kalian hanya dimanfaatkan bak robot. Toh aku yakin dan tau siapa yang sejatinya bukan robot dan siapa yang tak sadar kalau dirinya robot. Aku dukung kalian! Meski kurasa-rasa, kata-kata REFORMASI yang dulu pernah kalian lontarkan, tak memperbaiki nasib orang-orang kecil sepertiku. Aku dukung kalian 1000%! Karena paling tidak, kalian masih punya “hati kecil” yang masih kalian buka dengan lapang untuk mengatakan kebenaran.

Hari ini aku menggali dengan semangat membara. Ini semua karena kalian, segerombolan anak muda berseragam yang kudengar bernama MAHASISWA.

Selesai menggali, aku pun pulang dengan bersemangat yang masih bergejolak.

Rahmat! Rahmat! Dimana kamu? Ini, aku bawakan pisang goreng yang kubeli dari Mang Udin di jalan. Masih anget [hangat, red] lho!” Lalu kudapati Rahmat tertidur pulas tetap dengan foto Ka’bah itu di dekapannya.

Ya sudahlah, sebaiknya aku tak mengganggu istirahatnya. Kasihan dia. Sebaiknya aku mandi dulu.

Sudah hampir 4 jam Rahmat tertidur. Tak biasanya dia tidur selama itu. Kudekati dia. Tubuh Rahmat membiru. Pucat! Kusentuh dahinya, dingin. Kuraba denyut nadi tangannya, nihil. Kugoyahkan tubuhnya berulang kali dan Rahmat tetap tak menjawab.

Rahmat!! Rahmat!!

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Rahmat, sahabatku, telah pergi untuk selamanya. Di genggaman tangan kanannya, Rahmat menggenggam selembar kertas dan tertulis beberapa kalimat.

Sungguh, sebuah janji telah kuucap. Saat seruan panggilan itu hadir. Tapi, tak ada yang memaksaku untuk berjanji. Dia hanya memanggilku. Dengan seruan-Nya Yang Maha Wibawa. Di tanah suci. Ini adalah janjiku yang pasti. Janji yang jelas. Sebuah janji yang dulu pernah disaksikan oleh-Nya.”

“Aku ingin segera bertemu dengan-Mu, ya Tuhan. Tapi maafkan aku, karena sepertinya aku tak mampu memenuhi janjiku. Janji ini tak akan pernah aku lupakan. Selamanya. Hingga aku bertemu dengan-Mu.”

Aku bergidik merinding membaca tulisan Rahmat ini. Aku kaku! Tak mampu aku bergerak. Aku tersungkur ke lantai.

Rahmat!!

 

—Tahun 2007—

Aku putuskan untuk pindah ke Jakarta. Aku tak lagi menjadi penggali pasir. Dengan modal dua celengan yang aku dan Rahmat punya, aku kos di sebuah kamar mungil dan membeli sebuah gerobak untuk berjualan pisang goreng. Tak lupa aku membawa surat peninggalan Rahmat itu dan kumasukkan kedalam sebuah kaleng bekas. Kusimpan dengan sangat baik barang peninggalan Rahmat ini.

Sebiji, dua biji, pisang gorengku laku. Berhari-hari, berpuluh-puluh hari, ratusan pisang gorengku laris manis. Aku kembangkan usahaku ini lebih besar. Aku buat terobosan baru untuk tampilan dan memperbanyak rasa pisang goreng yang aku jual. Semua usahaku tidak sia-sia.

Aku menambah gerobak baru. Aku pekerjakan orang lain. Satu orang, dua orang, hingga berpuluh-puluh orang karyawan telah aku pekerjakan. Usahaku tersebar di beberapa kota di Pulau Jawa, hingga ke Sumatra. Satu persatu doaku selama ini terjawab sudah. Aku pun menikahi seorang perempuan baik-baik. Kami pindah ke rumah baru.

Alhamdulillah.

 

***

Suatu pagi kami sedang bersih-bersih rumah. Barang-barang usang yang sekiranya tidak dipakai, kami buang ke tempat sampah. Akhirnya, selesai juga acara bersih-bersih rumah kami hampir tepat tengah hari.

BRAKK!! BRAKK!! BRAKK!! PRANG!!

Bunda, Bunda,” panggilku.

Iya, Ayah, ada apa?” jawab istriku.

Apakah Bunda tahu dimana kaleng kecil yang Ayah taruh di almari?

Maksud Ayah, kaleng kecil yang sudah lusuh itu? Tadi sudah Bunda buang bersama barang-barang lain ke tempat sampah. Bunda pikir, itu barang tidak penting!

Apa?????” Aku kaget dan bingung bukan main. “Bunda tahu, betapa pentingnya barang itu untuk Ayah? Kenapa Bunda tidak bilang dulu ke Ayah kalau mau membuangnya?” aku bersungut.

Tap..tapi..Bun..”

Belum sempat istriku selesai berkata, aku bergegas meninggalkannya begitu saja. Tak ada waktu lagi. Aku harus segera menemukan kaleng itu. Kubuka tong sampah di depan rumah, ternyata sudah kosong. Tukang sampah sudah terlebih dulu mengangkut sampah-sampah di perumahan kami.

Habis aku! Tidak! Aku harus menyusul Pak Tukang Sampah itu ke Tempat Penimbunan Sampah Sementara.

Kuaduk-aduk sampah itu. Kuobrak-abrik sampah-sampah busuk itu dengan membabi buta dan fokus pada satu barang: KALENG. Aku tak peduli pada terik matahari yang menyengat.

Dimana? Dimana kamu?” lama aku mencari. “Nah, Alhamdulillah, akhirnya kutemukan juga kaleng ini.” Terima kasih Tuhan!

Aku kembali ke rumah dengan kondisi badan sangat bau dan kumuh. Aku bersimpuh di lantai teras rumah. Istriku datang menghampiriku.

Ayah, maafkan Bunda.” Istriku menepuk bahuku. ”Memangnya, seberapa penting kaleng ini bagi Ayah? Apa isinya hingga Ayah rela mati-matian mencarinya?

Bunda tahu? Barang ini..barang ini begitu penting bagi Ayah. Barang ini yang memotivasi Ayah hingga bisa seperti sekarang ini. Ini adalah sebuah janji!

Kubuka kaleng yang sudah berkarat itu. Kuambil isinya dan istriku pun membacanya.

Nanar istriku membaca isi surat itu. Kuceritakan semua kisah masa laluku bersama Rahmat, sahabatku. Muka istriku tiba-tiba memerah. Dia tergugu, menangis.

 

 

—Tahun 2010—

Ayah!!!

Putri kecilku memanggilku sambil mengenakan kerudung mungilnya. Cantik sekali, secantik bundanya. Terima kasih Tuhan, untuk semua anugerah yang Engkau berikan. Bersama istri dan anakku, tahun ini kami sekeluarga akan berangkat haji ke Tanah Suci, Baitulloh [rumah Alloh, red].

 

Rahmat!! Aku akan membayarkan janjimu!

 

 

– yiruma kaze  [Desember,2010] –

 
1 Comment

Posted by on October 20, 2011 in cerpen