RSS

Monthly Archives: January 2016

Wanita dan Potensinya (Dialog Imajiner)

Coretan Mantan Staf (ODOP-16)

 

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata ‘wanita’?

Cantik, menarik, lemah lembut, sabar.

Itu saja?

Sosok seorang istri, ibu.

Ada yang lain?

Itu saja dulu. Memangnya kenapa?

Nggak. Soalnya kalau membicarakan tentang wanita pasti nggak ada habisnya.

Iya. Memang. Ada sebuah peribahasa bahwa bangkit atau ambruknya negara itu tergantung kepada wanita. Kalau wanitanya bejat, bejatlah negara itu.

Yup, Anda betul.

Saya ingin menyampaikan bahwa wanita itu memiliki potensi. Lebih tepatnya potensi kehidupan.

Apa saja itu?

Wanita, seperti halnya pria, memiliki potensi kehidupan. Sebagai manusia, wanita memiliki potensi naluri dan kebutuhan jasmani. Nalurinya yang pertama adalah naluri beragama. Mengkultuskan sesuatu. Memerlukan sesuatu yang agung untuk disembah yaitu Sang Pencipta, tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyaluran naluri beragama ini tidak akan mungkin dipungkiri. Jika penyalurannya benar akan bisa membentuk sebuah ketundukan dan ketakwaan pada diri seseorang.

Gimana dengan orang-orang atheis itu? Mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Mereka yakin bahwa mereka berasal dari materi dan akan kembali kepada materi, an sich. Tuhan itu tidak ada buat mereka. Gimana itu?

Ah, mereka itu ‘kurang pintar’. Mana mungkin Tuhan itu tidak ada. Adanya sesuatu pasti ada yang membuat. Ada yang menciptakan. Adanya gadget canggih seperti i-phone, i-pad atau yang jauh lebih canggih dari itu pasti ada yang membuatnya. Tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada produsennya. Itu contoh barang. Kalau bicara soal kejadian sehari-hari, contoh kecil saja lah. Anda bisa kentut kan?

Iya bisa lah. Jangan jorok gitu deh…

Bukan begitu, maksud saya, kentut itu baunya nggak enak kan. Kecuali kalau bau kentutnya penghuni surga itu baru baunya harum ya. Hehe. Maksud saya begini, bau kentut itu menunjukkan bahwa ada orang yang kentut kan?! Tapi kita nggak tahu persis apakah orang yang kentut itu jenis kelaminnya apa. Nah di situlah keterbatasan akal manusia. Akal kita itu hanya bisa untuk memikirkan bahwa Pencipta itu ada. Bahwa Tuhan itu ada. Allah itu ada. Tapi tentang bagaimana wujud Allah dan dzat-Nya, kita tidak bisa menjangkaunya. Akal kita lemah. Makanya ada Al Qur’an dan Hadits yang bisa menjelaskan itu semua. Okelah kita nanti akan diskusikan hal ini lebih lanjut insyaallah di kesempatan lain ya.

Terus..terus..??                                                                                                            

Saya bilang di kesempatan lain saja.

Wah, sayang sekali. Padahal topik tadi sangat menarik bagi saya. Karena saya juga pernah debat dengan kenalan saya soal itu. It’s okelah. Lanjut…

Baiklah, saya lanjutkan. Naluri wanita yang kedua adalah naluri kasih sayang kepada sesama. Sayang kepada manusia dan juga makhluk yang lain. Lebih spesifik tentang kasih sayang antarmanusia (cinta, red), wanita ‘cenderung’ kepada lawan jenis. Itu adalah fitrahnya sebagai manusia. Wanita perlu menikah dengan lawan jenis untuk meneruskan garis keturunannya.

Lawan jenis ya? Lalu gimana dengan lesbi?

Jelas itu menyalahi fitrah. Wanita fitrahnya ‘cenderung’ kepada pria. Itu sudah kaidahnya. Para lesbian jelas menyalahi kodrat penciptaan wanita itu sendiri. Allah menciptakan wanita itu ada pasangannya, yaitu pria, dalam rangka untuk melanjutkan keturunan. Agar memiliki anak dan generasi penerus. Nah, secara fitrah biologis saja, mana mungkin sesama wanita menikah dan mampu memiliki anak nantinya?!

Iya ya, nggak mungkin juga. Lalu gimana kalau mereka tetap menjadi seorang lesbian? Dan mereka menganggap bahwa takdir mereka adalah menjadi lesbian.

Wah, celaka tujuh turunan itu. Itu berarti mereka menyalahi kehendak Tuhan, menyelisihi Allah. Allah itu bukan hanya menciptakan manusia, tapi juga lengkap dengan aturannya bukan?! Kalau para wanita lesbi itu tetap ngeyel, sudah pasti akan merusak kaidah penciptaan diri mereka sendiri. Akibatnya, keturunan manusia akan rusak. Generasi manusia bisa musnah. Kan tadi kita sudah bahas bahwa jika sesama wanita menikah, tidak akan bisa menghasilkan keturunan.

Kalau mereka mengatakan itu adalah hak asasi mereka? Gimana?

Tuh kan ujung-ujungnya memakai dalil kebebasan berperilaku. Hak Asasi Manusia (HAM) dibawa-bawa. Itulah bahayanya HAM, aturan buatan manusia. Main tabrak saja meskipun sudah menyalahi kodrat penciptaan manusia dari Tuhan.

Iya sih.

Saya teruskan sajalah. Maksa ya? Hehe. Naluri wanita yang ketiga adalah naluri mempertahankan diri. Wanita juga punya ego pribadi, seperti layaknya pria. Wanita bisa terluka jika disakiti, bisa sedih, bisa senang, dan yang lain. Selain itu, wanita juga punya daya tahan untuk menghadapi masalah, atau membela diri ketika didholimi. Itu tadi naluri yang dimiliki seorang wanita.

Oke, saya paham.

Nah, selain naluri atau insting, wanita juga memiliki potensi kehidupan yang lain, yaitu kebutuhan jasmani.

Oh, seperti makan, minum, buang hajat dan lain-lain itu saja.

Yap, tepat. Semua orang pasti sudah paham soal ini. hanya saja, saya ingin mengingatkan tentang asal dan penyaluran kedua potensi kehidupan manusia itu.

Antara naluri dan kebutuhan jasmani?

Ya. Naluri itu dorongan atau motivasinya dari luar tubuh manusia dan jika tidak dipenuhi tidak akan sampai menyebabkan kematian. Sedangkan kebutuhan jasmani, munculnya dari dalam tubuh manusia itu dan harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi kebutuhan jasmaninya, manusia bisa mati.

Hmm..

Kenapa hmm? Ini penting untuk dipahami! Kalau tidak, bisa fatal akibatnya. Ada tokoh Barat bernama Sigmund Freud. Dia menyatakan bahwa naluri seks yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan kematian. Dia menyatakan bahwa manusia menjalankan aktivitas dengan motivasi ‘libido’. Akibat adanya propaganda ini manusia, baik pria maupun wanita bertingkah laku sebebas-bebasnya karena batasannya : asalkan tidak merugikan orang lain. Parah kan?! Jadi yang namanya zina, kumpul kebo, free sex ataupun ganti-ganti pasangan baik berlainan jenis maupun yang sejenis dianggap sebagai hal yang lumrah.

Wah, fatal banget ya!

(BERSAMBUNG)

 

 
Leave a comment

Posted by on January 31, 2016 in chickenSoup

 

Tak Sekadar Berkebun

Coretan Mantan Staf (ODOP-14)

Salah satu indikator keberhasilan pendidikan anak usia dini adalah memiliki motorik halus dan motorik kasar yang berimbang sehingga memiliki kesiapan untuk berlatih disiplin. Untuk motorik halus diarahkan untuk melakukan sesuatu yang membutuhkan kehati-hatian, kesabaran, fokus. Misalnya menuang air ke dalam gelas (atau botol) tanpa tumpah, menggunting kertas, membuat garis, mewarnai, mengekspresikan diri dengan karya seni, dan sebagainya. Sedangkan untuk motorik kasar diarahkan agar fisiknya mampu melakukan gerakan-gerakan yang membutuhkan space lebih luas seperti gerakan melompat, berenang, berlari, naik-turun tangga/ubin, mendaki, menirukan gerakan senam, mengangkat yang ringan-ringan, dan sebagainya. Seimbangnya kemampuan motorik halus dan kasar pada anak usia dini sangat berguna untuk menyeimbangkan kemampuan dirinya dalam proses belajar selanjutnya, sehingga anak-anak mudah bersikap sesuai adab yang diajarkan di usia sekolah.

Pagi ini kami bertiga (saya dan dua krucils) belajar berkebun. Memindahkan tanaman pucuk merah dari polybag ke dalam pot bunga yang lebih besar. Selain itu, juga memindahkan bibit nangka yang Alhamdulillah sudah menunjukkan tunasnya. Semoga akan tumbuh subur ya.

Selain itu, stimulasi berpikir anak usia dini sangat bisa diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi keempat komponen berpikir, yaitu otak, indera, fakta, dan informasi sebelumnya. Saat menanam pohon/ berkebun, kita bisa mengoptimalkan fungsi keempat komponen berpikir tersebut dan menstimulasi naluri anak-anak sebagai basis aqidah mereka.

Misalkan, materi tentang tanaman. Pertama kita bisa meminta anak-anak untuk membantu menambahkan sedikit demi sedikit sekam yang sudah kita siapkan sebagai media tanam kedalam pot bunga, dengan catatan tidak tercecer. Itu untuk melatih motorik halus anak. Kemudian kita bisa jelaskan sifat-sifat tanah, air, dan kegunaannya. Kita jelaskan siapa pencipta itu semua dan mengaturnya untuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Hal ini sedikit demi sedikit saya sampaikan kepada anak-anak, belum semuanya dan belum sempurna betul.

Lebih jauh lagi, kita bisa menanamkan pemahaman kepada anak bahwa Allah Maha Pencipta. Kemudian kita minta anak-anak untuk memindahkan bibit nangka kedalam pot (posisi bibit nangka bisa diletakkan di tempat agak jauh dari posisi pot agar ada space bagi krucils untuk berjalan guna melatih motorik kasarnya). Kita jelaskan pula bahwa jika tanaman kita akan tumbuh membesar, subur dan menghasilkan bunga atau buah maka manfaatnya juga akan kembali kepada manusia. Sebagai bentuk syukur dari semua itu maka kita harus merawat tanaman itu dengan menyiramkan setiap hari agar tidak layu atau mati.

Dalam setiap aktivitas apapun sebenarnya sangat memungkinkan mengintegralkan konsep aqidah Islam dalam pembelajaran motorik anak. Tinggal pintar-pintarnya kita yang meramu hal sederhana menjadi pelajaran bermakna yang membekas dalam hati dan pikiran anak-anak kita. Jadi ya memang emaknya harus juga pintar. 🙂

Mari belajar membersamai anak-anak kita dengan basis aqidah, bunda! 🙂

Emma

2016-01-29 10.51.45

2016-01-29 10.52.29 2016-01-29 10.52.19

 
Leave a comment

Posted by on January 29, 2016 in chickenSoup

 

Bahagia Belajar [Resensi Buku (2)]

Coretan Mantan Staf (ODOP-13)

Bagian dua buku seri parenting karya Ida S Widayanti ini mengupas tentang konsep “Bahagia Belajar”, tentang bagaimana kita sebagai orang tua hendaknya membuat suasana belajar yang positif dan penuh kegembiraan. Ini penting karena dalam kondisi bahagia maka anak-anak akan lebih dapat belajar secara maksimal. Porsi kita adalah menciptakan rasa aman secara fisik dan emosi pada diri anak agar otaknya siap untuk belajar.

Saya teringat kejadian waktu masih duduk di bangku SMP. Waktu itu matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Seperti biasa Pak Guru menjelaskan materi. Sampai pada detik di mana ada seorang teman cowok yang berbuat ulah (atau bagaimana ya dulu, saya agak lupa) kemudian diingatkan Pak Guru. Eh, lalu teman cowok saya itu bilang ke teman sebangkunya “Yang waras, ngalah!” Pak Guru ternyata mendengar ucapan teman saya yang kebetulan duduk di bangku depan. Mungkin karena merasa diledek atau bagaimana, beliau naik pitam. Beliau langsung melayangkan tamparannya ke pipi teman saya. Sontak seisi kelas terdiam. Yang ada kemudian adalah rasa takut dan was-was setiap pelajaran yang diampu oleh Pak Guru tersebut. Saya yang tidak ditampar saja merasa kurang berkonsentrasi dalam menangkap pelajaran, apalagi teman saya itu. Bisa jadi teman saya itu merasa kaget, sedih, malu sekaligus kesal. Suasana belajar menjadi tidak kondusif karena kami belajar dalam suasana ketakutan. Dari kejadian waktu itu, sekarang saya memahami bahwa ternyata kita harus menciptakan suasana yang kondusif dan positif untuk anak-anak (termasuk anak didik) agar apa yang kita sampaikan/ajarkan kepada mereka lebih mudah ditangkap dan dicerna. Suasana hati sangat berpengaruh terhadap kinerja otak. Otak akan bekerja optimal saat dalam keadaan emosi yang positif.

Kita perlu memberikan dorongan dan apresiasi pada usaha-usaha kecil yang sudah dilakukan anak-anak kita. Contoh kecil tentang membuang sampah. Kita berikan motivasi kepada anak untuk membuang sampah pada tempatnya. “Ayo, bantu ummik buang sampah ya biar rumahnya tidak kotor. Adek kan anak pintar.” Dengan sigap biasanya si adek  Arsyad (1 tahun 7 bulan) langsung membuang sisa bungkus makanan, tissue kotor atau barang-barang ringan lainnya ke tempat sampah di dapur. Tepat. Maka perlu kita apresiasi dengan mengucapkan “Terima kasih! Adek Arsyad pintar!” atau yang serupa. Atau pada kesempatan lain ketika ada diantara kami yang memberikan stimulus dengan berkata “Haus”, maka si adek akan langsung lari ke dispenser untuk mengambilkan minum air putih. Ucapan terimakasih sudah sepatutnya mereka terima sebagai bentuk apresiasi kita.

Rumah kami hampir tak pernah rapi karena setelah dirapikan, ada saja ulah anak-anak (semoga bukan karena emaknya yang malas bersih-bersih rumah ya, hehe). Kadang mereka bermain air minum dan menuang begitu saja ke lantai, membuang sisa makanan, mencoret-coret dinding, dan yang lainnya. Saya biarkan mereka bermain, belajar banyak tentang kehidupan, tentang kemandirian, kepemimpinan, kerjasama, keberanian. Mengutip tulisan bu Ida “Banyak orang tua yang lebih senang rumahnya rapi serba teratur, daripada menjadi arena bermain atau menjadi ‘ruang praktikum’ tempat anak-anak melakukan berbagai percobaan. Banyak orang tua marah jika anak-anaknya mencoreti dinding atau lantai, yang padahal merupakan bibit-bibit tumbuhnya kreativitas”. Karena rumah adalah kanvas. Kalau begitu, biarlah anak-anak “berkreasi” ya. Kalau kotor ya nanti disapu/dipel. Kalau dinding dicoreti, biar nanti dicat lagi secara berkala. Hehe.

Bahagia belajar, termasuk memahamkan arti yang hakiki dari bahagia itu sendiri. Bahagia tidak selalu dengan mainan yang mahal atau baju yang selalu baru. Namun berbuat baik, membantu ummik buang sampah, mengambilkan minum, berbagi makanan/jajanan dengan teman itu lebih mendatangkan kebahagiaan. Maka kita sendiri harus lebih dulu peka apa makna bahagia, bukan bertumpu pada materi, pangkat, jabatan, atau popularitas.

Masa kecil anak sebenarnya sangat singkat. Mungkin butuh waktu pendampingan sampai 14-15 tahun saja (bahkan ada yang kurang dari usia ini) sampai mereka baligh. Itu tidaklah lama dibandingkan konsekuensi panjang yang harus mereka jalani setelah baligh, saat di mana mereka telah siap menerima konsekuensi syahadat mereka. Saat itu mereka dianggap mampu oleh Allah untuk melaksanakan taklif hukum syara’. Saat anak kita dewasa kelak, mungkin tak banyak yang bisa kita lakukan. Mereka telah memiliki dunia sendiri. Pengaruh kita saat itu pasti tak sebesar semasa mereka kecil. Maka saat ini, saat mereka masih dominan berada dalam pengasuhan, pendidikan, dan pengawasan kita inilah Allah menghadiahi kita ladang amal yang teramat luas. Jadi, janganlah kita sia-siakan berlalu begitu saja. Ya, kita inilah, ibunya.

Kenapa harus kita, ibunya? Karena kita yang (seharusnya) paling dekat dan paling bisa mengerti apa kemauan anak. Karena kita lah yang (seharusnya) paling ingin anak-anak kita pandai dan berakhlak mulia. Karena kita –ibunya- yang (seharusnya) paling lama berada dekat dengan anak-anak kita.

Belajar itu luas maknanya. Kita akan banyak belajar dari penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Jika kemudian kita mampu mengaitkan ketiga hal (penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan) dengan kehidupan sebelum –dan sesudah- dunia ini insya Allah kita akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia (TQS. Ali Imran (3): 191). Selamat belajar. Selamat berbahagia.[]

emma

Emma 2016-01-18 03.32.33

 
Leave a comment

Posted by on January 28, 2016 in resensi

 

(Ingin) Rumah di Surga

Coretan Mantan Staf (ODOP-12)

Katanya kalau nggak pinjam duit ke bank alias kredit, nggak akan bisa bangun rumah? Katanya kalau nggak pake leasing, mustahil bisa bikin rumah? Iya apa iya?

Jawab saja : Allah itu Mahakaya! 😀

Kami berpegang pada keyakinan bahwa Allah nggak akan menelantarkan hidup kita jika benar-benar menginginkan sebuah kebaikan hakiki. Siapa sih yang nggak mau orang tuanya punya tempat berteduh “sendiri”? Kami pun mau. Siapa sih yang nggak mau memuliakan orang tua? Sangat mau (sekali)! Dan inilah yang menjadi satu alasan utama kenapa waktu itu saya belajar bersabar melanjutkan profesi sebagai “wanita kantoran”, bertarung dengan naluri seorang ibu yang ingin setiap saat memeluk sang buah hati di rumah. Bertahan dengan cibiran beberapa orang bahwa saya lebih mementingkan karir dibandingkan dengan anak dan suami. Setiap orang punya alasan kan ya? Makanya, cari tahu alasan kenapa seseorang memilih A ketimbang B, jangan langsung menjustifikasi. Karena “sakitnya tuh di sini?” Hehe. Sampai akhirnya saya putuskan “Oke stop! Off dulu. Dahulukan yang wajib ain, biarkan Allah yang akan menata semuanya. Ikhtiyar kita nggak akan sia-sia. Let’s belajar tawakal kepada Allah.” Nggak mudah, waktu itu!

Ah sudah, it’s over! Tak perlu diceritakan lebih detail lagi lah ya, nanti bisa mengakibatkan gerimis di hati.

Lalu, gimana soal bangun rumah? No leasing! No kredit bank! Itu prinsip yang kami pegang. Meskipun proses pembangunan rumah kami membutuhkan waktu lebih lama, no problemo. Yang penting bebas dari riba. Biar lambat asal selamat. Selamat dunia dan akhirat.

Melibatkan diri dengan riba itu ibarat lilin yang menyala. (Misalkan) saya yang sudah berpenghasilan tetap dan mampu mengajukan kredit ke bank, hasilnya mungkin orang-orang di sekitar kita sangat terbantu dengan itu. Bak memberikan cahaya kebahagiaan untuk keluarga. Namun ternyata apa yang terjadi? Kita sendiri terbakar. Tubuh kita terbakar. Hancur. Lalu buat apa semua ini? Bak lilin yang nyalanya membawa terang, namun dirinya hancur sendiri. Na’udzubillaahi mindzaalik.

Allah subhanahu wa ta’ala jelas-jelas melarang kita dalam aktivitas ribawi. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275].

Dalam hadits juga sudah banyak disebutkan besarnya dosa riba.

  1. “Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
  2. Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
  3. “Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

Jadi ya memilih bersabar dulu. Kami pun memilih begitu. Karena menanggung dosa riba, kami tak mampu!

Dan ternyata kemudian Allah mendatangkan rizki dari jalan yang tidak kami sangka. Alhamdulillah saat ini kami sedang proses menyelesaikan “gubuk” kecil kami di kampong. Untuk ibu. Mohon doa dari semua. Semoga prosesnya lancar.

Yang paling penting adalah semoga ini membawa barokah untuk kami semua. Barokah yang maknanya bertambah-tambah. Bertambah ketakwaan penghuninya kepada Allah, bertambah rizkinya yang halal, bertambah kebaikan pada semua hal. Karena apa lagi yang kita inginkan ketimbang itu semua. Dan semoga dengan ini Allah membukakan jalan yang lapang kepada alm.bapak di akhirat. Ya Rabb, pertemukanlah kami di surga-Mu yang luas. Aamiin.[]

Emma

IMG-20160125-WA0018

 
Leave a comment

Posted by on January 27, 2016 in chickenSoup

 

Belajar Bikin Sinopsis (Part-1)

Coretan Mantan Staf (ODOP-11)

KERINDUAN

Basic Story :

Adzan mengalun merdu dari Masjid Al Muhadjirin dekat komplek rumah susun di pusat kota Jakarta. Membangunkan lamunan seorang perempuan tua yang hidup sebatang kara. Segera ia letakkan keranjang bunga dagangannya di atas meja. Dipandanginya lekat-lekat wajah sang cucu yang menghilang 10 tahun yang lalu saat dalam perjalanannya menuju perantauan. Foto yang tergantung pada dinding usang itu seperti kembali menuntunnya pada masa lalu. Segera ia sapu air mata yang menetes dari kedua matanya lalu bergegas sambil tergopoh-gopoh menuju masjid.

 

Sinopsis:

Wati Kusuma (25) akhirnya memiliki seorang anak perempuan bernama Narni setelah sembilan tahun pernikahannya dengan Hadi (30). Suaminya seorang buruh tani di Desa Tegalwaru Jawa Tengah. Kehadiran seorang putri kecil dalam rumah tangganya benar-benar membawa kebahagiaan. Membuktikan kepada tetangga sekitarnya bahwa dia bukan wanita mandul, hanya selama ini Gusti Allah belum mengijinkannya menimang jabang bayi darah dagingnya. Setelah penantian selama tujuh tahun dan ikhtiyar ke sana kemari, semua itu terwujud. Pak Hadi sebagai suami sangat bangga karena dirinya mampu menjadi seorang Bapak. Ah, tak ada yang mereka inginkan lagi. Semua sudah terasa lengkap. Hingga musibah itu pun datang. Rumah berdinding bambu tempat mereka merenda hari terkena longsor karena letaknya yang bersebelahan langsung dengan bukit, setelah hujan beberapa hari. Pak Hadi meninggal setelah tertimbun tanah longsor. Sungguh, betapa hati bu Wati hancur berkeping-keping. Suaminya tercinta meninggalkannya tak lama setelah mereka mengecap kebahagiaan keluarga.

Bagaimana pun, perjuangan hidup harus tetap dilanjutkan. Bu Wati seorang pekerja keras. Demi anaknya beliau bekerja sebagai buruh tani, sesekali menjadi buruh cuci dan setrika jika ada tetangga yang meminta bantuannya. Narni pun tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik. Dia anak yang patuh kepada ibunya dan taat dalam beribadah. Jadilah dia kembang desa. Hal itu menarik hati seorang pemuda bernama Nugroho. Mereka pun akhirnya menikah di usia muda dan dikaruniai seorang putra setelah setahun menikah. Cucu dari nenek Wati diberi nama Anugrah.

Nugroho bekerja sebagai petani. Ada sebidang sawah warisan keluarga yang bisa dijadikannya sumber matapencaharian. Alhamdulillah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, Nugroho juga menjadi takmir masjid di kampungnya. Anugrah yang bertumbuh kembang menjadi balita cerdas sangat senang ikut ayahnya ke masjid. Dia menjadi cucu kesayangan nenek Wati.

Sampai akhirnya Allah subhanahu wata’ala mempunyai rencana sendiri atas keluarga kecil nenek Wati. Motor bebek yang dikendarai Hadi dan Narni ditabrak truk sepulang dari menghadiri walimahan temannya. Mereka tak tertolong karena luka yang terlalu parah. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Anugrah yang kebetulan saat itu bermain di rumah dan tidak ikut ayah ibunya, dipeluk oleh nenek Wati sangat erat. Begitu erat. Kini, hanya Anugrah kecil temannya satu-satunya. Duh Gusti..!

Suatu hari nenek Wati (47) dipanggil oleh tetangga langganan dia cuci-setrika bernama bu Ira. Merasa kasihan, bu Ira menawarkan pekerjaan kepada nenek Wati menunggu kios bunga miliknya di kota Jakarta dan diijinkan untuk tinggal bersama saudaranya di sebuah rumah susun di Jakarta dekat dengan kios bunga tersebut. Anugrah juga akan diangkat menjadi anak bu Ira. MasyaAllah, tawaran tersebut diamini nenek Wati. Berharap cucunya akan mempunyai masa depan yang lebih baik di Jakarta. Dengan bermodal keyakinan dan uang saku secukupnya dari bu Ira, nenek Wati berangkat ke Jakarta bersama Anugrah. Nenek Wati ingin berangkat sendiri dengan naik kereta ekonomi biasa karena tidak ingin merepotkan bu Ira dan agar bisa menghemat uang pemberian bu Ira. Nenek Wati hanya minta diberi catatan agar naik-turun kendaraan di mana, agar tidak tersesat.

Di tengah kereta -yang seperti pasar karena banyaknya orang lalu lalang berjualan- nenek Wati memegang erat tangan Anugrah yang sesekali ingin bermain dan berlari-lari. Akhirnya mereka diberi tempat duduk oleh seorang penumpang yang baik hati. Alhamdulillah. Nenek Wati yang sudah begitu payah tak sengaja tertidur di dalam kereta, meskipun beliau sebenarnya berusaha agar tidak terlelap. Hingga sampailah di stasiun tujuan, Stasiun Pasar Senen. Nenek Wati yang masih terlelap. Penumpang yang kebetulan duduk di depan nenek Wati membangunkan beliau. Nenek Wati terkaget-kaget. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Anugrah terlepas dari genggaman. Dia raib dari tempat duduk di sampingnya. “Allahu Rabbi! Apalagi ini? Cucuku satu-satunya Engkau ambil juga dari pelukanku??!” Kepala nenek Wati terasa berputar-putar. Semua kemudian tiba-tiba gelap. Penumpang lain tersebut kemudian membopong tubuh nenek Wati ke tempat duduk di stasiun. Direbahkannya tubuh nenek Wati, kemudian dia menghubungi nomor handphone yang tertulis di lembaran kertas kusut di dalam genggaman nenek Wati. Nomor handphone bu Ira menjadi jalan penolongnya.

Adzan mengalun merdu dari Masjid Al Muhadjirin dekat komplek rumah susun di pusat kota Jakarta. Membangunkan lamunan nenek Wati (52) yang hidup sebatang kara. Segera ia letakkan keranjang bunga dagangannya di atas meja. Dipandanginya lekat-lekat wajah sang cucu yang menghilang 10 tahun yang lalu saat dalam perjalanannya menuju perantauan. Foto yang tergantung pada dinding usang itu seperti kembali menuntunnya pada masa lalu. Segera ia sapu air mata yang menetes dari kedua matanya lalu bergegas sambil tergopoh-gopoh menuju masjid.

Anugrah, dia ditemukan seorang pemulung di jalanan dan tinggal di sebuah rumah kardus di bawah jembatan, sudut kota Jakarta. Kehidupan anak jalanan yang keras harus dia lakoni. Hingga dia bertemu dengan seorang wartawan bernama Soni yang kemudian menawarkan kepada anak-anak jalanan tersebut untuk ikut sekolah di kelas taman bacaan. Dasar pribadi Anugrah yang memang baik hasil didikan nenek Wati dan almarhum orang tuanaya dulu, Anugrah mampu unggul dibandingkan anak jalanan lainnya. Dia pun menjadi ‘siswa’ kesayangan Soni dan disekolahkan hingga lulus SMA.

Sungguh ini semua tak mudah bagi Anugrah (14). Kehidupan anak jalanan begitu kelam. Anak-anak usia SD hingga SMP itu hobinya ngelem, merokok, minum minuman keras, sampai ada yang mengonsumsi narkoba. Parahnya, mereka menjadi sasaran empuk orang-orang sadis penikmat seks jalanan. Ngeri! Benar-benar tragis nasib anak-anak itu. Untung ada Soni. Dialah yang sering mengingatkan Anugrah agar tidak terjerumus di jurang kelam seperti kawan-kawannya.

Dunia kepenulisan yang digeluti Soni dilirik oleh Anugrah. Dengan bekal tekad kuat, Anugrah memenangi sebuah perlombaan menulis dengan hadiah beasiswa kuliah sarjana. Empat tahun kemudian, dia pindah dari rumah kardus di bawah jembatan tersebut dan memulai babak baru dalam hidupnya, bekerja sebagai jurnalis di sebuah stasiun TV. Dengan keuletannya Anugrah (25) didaulat menjadi pembawa berita sekaligus produsernya. Dia menjadi orang terkenal. Banyak media memberitakan namanya.

Meskipun di usianya yang telah senja, nenek Wati adalah wanita tangguh. Ia masih kuat berjalan dengan cukup sigap meskipun tak segesit semasa mudanya. Gigi-giginya yang masih tertinggal masih cukup kuat untuk makan jagung rebus, meskipun harus dikunyah perlahan-lahan. Masa lalu telah membentuknya menjadi wanita yang tak mudah mengeluh. Ia masih mampu menunggu toko bunga.

Suatu hari, nenek Wati (63) yang setengah melamun melihat TV di toko bunga, terperanjat melihat sosok pemuda tampan tengah diwawancara di sebuah acara talkshow bertajuk “Dari Anak Jalanan Menjadi Kantoran”. MasyaAllah, dialah Anugrah cucu semata wayang yang selama ini sangat dirindukannya. Akankah nenek Wati mau mengungkapkan jati dirinya? []

emma

 
Leave a comment

Posted by on January 26, 2016 in chickenSoup